Kamis, 25 Juni 2009

Cinta Ajeng

ada jemari lentik yang menari didepan cermin hati. kuku-kukunya yang bersih dan tangannya yang halus memancar dalam pesona. tatapannya kosong, melamunkan masa depan yang sudah dituliskan oleh orang tuanya. bibir merahnya sesekali mengecap dan nafasnya menghela. jantungnya berdegub tak beraturan menyatakan bahwa hatinya gundah. dari luar kamar terdengar ketukan pintu
"tok...tok..."
masuklah sosok perempuan berkebaya dengan sanggul rambutnya. jalannya sangat pelan dan anggun yang membuktikan perempuan tersebut keturunan priyayi. dia mulai membuka pembicaraan.
"piye to nduk, mbok kamu nurut saja sama wong tuo "
"njeh ibunda romo, saya hanya ndak pengen niki jadi penyesalan"
" wong tuo mana yang mau anaknya susah "
kata kata yang sangat menentramkan hati seorang anak terhadap pilihan yang harus dijalani. pilihan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipilih, melainkan pilihan yang harus dijalankan keduanya. yang pertama adalah mengikuti kehendak orang tuanya, dengan menentukan perasaan yang belum terbentuk.

langkahnya pelan menuju beranda teras rumah, disana sudah menunggu tamu tamu kehormatan yang telah disambut romonya.
" lha ini dia kngmas, putri tunggal saya " kata sang romo.
" sangat ayu dimas, cah bagus piye menurutmu "sahut bupati maharja dan menanyakan pada anaknya raden praja.
" saya manut sama ayahanda, saya juga sreg... sepertinya sama diayu Ajeng " jawab raden praja.


Bersambung

0 comments:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger